Sabtu, 19 Oktober 2013

// // Leave a Comment

An Immature


Title     : An immature
Author :Abimanyu Surya Nagara | Radenabim
Genre  : Romance, Slice of life
Cast      :
  • Nakajima Yuto as Ray
  • Suzuki Airi as Karin
LENGTH type : Oneshoot




Kedewasaan adalah kematangan yang dialami seseorang yang membuatnya tenang dalam mengambil keputusan ataupun mengatasi problema hidup. Dalam kedewasaan, terdapat perasaan yang memicu dan sangat berperan namun sulit untuk dilakukan. Itulah yang disebut sebagai kesabaran

Aku tidak pernah tau bagaimana cara orang bersabar. Yang aku ingat, guruku selalu berkata bahwa sabar itu penting. Dan sabar membuat wajah menjadi berseri sehingga disenangi banyak teman. Hari itu aku menghiraukan semua perkataan guruku. Kesabaran bukan untuk anak ingusan sepertiku. Aku sudah tersenyum? Tapi mereka tetap tidak mau berteman denganku. Aku tidak akan memaksa, itu memang kesalahanku. Aku tidak pantas berteman dengan mereka. Itu pilihan mereka.
Ibuku juga meninggalkanku. Kata kakak, ibu belanja ke pasar dan nanti akan memasakkan makanan enak buatku. Namun, sampai hari ini terhitung 6 bulan dia tidak kembali.
Kata orang di luar sana, ibuku tidak suka denganku, kakak dan ayah. Sehingga dia meninggalkan kami, dan memilih ke tempat yang dia bisa tenang dari usikan-usikan bocah sepertiku.
Aku sempat menyesal. Aku tidak melarangnya pergi atau sekedar permintaan untuk ikut bersamanya. Tapi biarlah, cukup menjadi dewasa lalu aku tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan kehilangan lagi.
**

“Hai Ray!” Suara sapaan itu mengalihkan pandanganku yang tadinya terfokus di novel yang aku baca sejak 2 jam yang lalu. Ya, pelajaran kosong adalah kesempatan terbaik untuk membaca novel. Walaupun Cuma sejam, tapi itu cukup untuk mengkhatamkan satu bab. Beruntung, suara semenit yang lalu itu tidak menggangguku, karena memang aku belum mencapai bagian klimaks novel ini. Suara itu tak asing.

“Apa Rin? Apa kabar?” Jawabku dengan sepenuh tenaga dan perasaan. Namanya Karin, dia yang biasa menemaniku di kelas, entah dalam pelajaran atau sekedar membaca novel. Gadis itulah yang rutin bersamaku. Entah, tapi itu yang kubutuhkan.

“Baik Ray! Kau baik juga kan?”
Ujarnya dengan mengumbar senyuman tipis padaku. “Ya.” Jawabku pendek mengiyakannya. Anggukan memantapkan jawabanku barusan.

“Oh yah kau sedang membaca apa?” Tanyanya sesaat setelah dia mengambil kursi miliknya dan duduk di depan mejaku sembari memperhatikan novel ukuran kecil yang sedang aku pegang.

“Ini? Ini novel.” Jawabku singkat, sesekali aku membenarkan kacamataku yang sering berubah posisi itu.

“Yah tau Ray. Tapi, novel apa?” Tanyanya lagi, karena merasa jawabanku tidak menyelesaikan pertanyaannya.
“Oh ini novel tentang ibu” Ujarku menjawabnya dengan mantap.
“...” Suasanya tiba-tiba hening dan aku tidak mendengar pertanyaan yang terlontar lagi dari bibir gadis manis itu. Karin memang anak yang tidak banyak bicara, pribadinya juga baik. Dia juga anak seorang yang berkecukupan. Tapi diamnya kali ini berbeda. Entah apa yang aku fikirkan tapi mimik wajahnya menandakan lain.

**
Teng....

Teng...

                Teng...
.
.

.

Suara bel tiga kali itu menandakan bahwa pelajaran untuk hari ini telah selesai. Aku ingin bergegas pulang dan melanjutkan membaca novel yang tadi masih terhenti di tengah. Aku berlari cepat ke arah pintu keluar. Dan ...
Brakh.
Tabrakan yang cukup keras menghantam pundakku, terbukti rasa nyeri keluar sesaat setelah tabrakan itu. Tampaknya aku telah melukai gadis yang kusukai itu. Entah apa yang dia lakukan berlari-lari seperti itu.
“Eh Karin? Apa kabar? A... apa ya yang kau lakukan?” Ujarku bertanya kepadanya. Mengapa dia tampak sangat terburu-buru seperti itu. Tidak biasanya dia berlari-lari seperti itu. Dia termasuk orang yang tenang dan tidak gegabah. Jadi peristiwa ini termasuk jarang dalam keseharian kami.

“Kabarku baik Ray, kalau kau? Ayo kita pergi ke suatu tempat!” Ujarnya tanpa jeda sedikitpun, tanpa jawaban dariku dia langsung menggandengku keluar dari sekolahan ini menuju ke suatu tempat. Dia berjalan dengan cepat dan semakin lama semakin cepat. Dan saat ini dia telah berlari. Aku tidak pernah melihatnya seperti ini, tangan kami menyimpul kuat. Dia menggenggam tanganku rapat-rapat seolah takut aku melepaskannya.

“Kita kemana !?”
“....” Pertanyaanku tidak terjawab olehnya sepatah katapun. Dia tetap berlari dan tak melambat sedikitpun. Semakin lama aku semakin lelah, dan saat ini Karin terlihat lelah. Wajahnya pucat, sejak sejam yang lalu kami terus berlari. Kecepatannya mulai melambat dan ...

“Brukh!” Karin terjatuh karena lelahnya, entah apa yang dia fikirkan hingga dia mengorbankan dirinya seperti ini.

“Ray, kita sampai!” Ujarnya kepadaku, senyumnya mengembang. Saking senangnya hingga dia bangkit dan memelukku. Pelukan yang hangat.

“Dimana ini karin?”
Ujarku bertanya-tanya, tampak hanya ada padang rumput membentang di penjuru sudut.

“Coba kau lebih ke utara Ray!”
Ujarnya, senyumnya tak lepas sedikitpun dari wajah cantiknya. Sembari jemari mungilnya itu menunjuk arah yang ia maksud. Aku pun menurutinya, sesekali pandanganku menyebar ke penjuru padang rumput ini. Dan yang aku temukan ...

“Kelinci? Wah banyak sekali!” Ujarku kaget melihat ratusan kelinci di hadapanku. Dan tampaknya mereka hidup tak bertuan. Tempat ini memang jauh dari rumah penduduk, tapi aku tidak menyangkah di tempat seperti ini ada kelinci.

“Iya mereka lucu kan? Aku melepasnya 2 ekor lalu mereka bertambah dan jadi sebanyak ini. Bagaimana, Kau suka?”
Ujarnya menjelaskan. Ia berjalan mendekat ke kekerumunan kelinci itu dan mengambil seekor kelinci lalu mengelusnya. Sesaat setelah itu, tangan kuning langsatnya meraih tasnya dan mengeluarkan beberapa buah wortel, dan menyodorkannya ke kelinci yang berada di pelukannya itu. Tampaknya kelinci itu tidak asing dengan Karin. Mereka tidak takut, sedangkan aku mencoba mengambil seekor saja sangat sulit.

“Hahahaha, berusahalah untuk mendapatkan satu Ray! Yang ini namanya sama sepertimu, Ray”
Ujarnya mengejekku yang sedari tadi gagal mendapatkan seekor kelincipun. Merasa kalah, aku memutuskan untuk mendekati Karin. Ada yang ingin aku katakan padanya, mungkin sekarang waktu yang tepat.
“Ka.. Karin!”
Ujarku membuka percakapan

“Iya, apa kau dapat kelincinya?” Jawabannya, tampaknya dia sangat senang. Tapi aku harus mengatakannya sekarang. Aku tidak mau menundanya lagi.

“Karin, aku suka ka..kaa... kamu! Te..terimakasih” Ujarku, aku tidak ingin berlama-lama menahannya.

“Aku juga! Aku juga Ray! Tapi.... tapi besok kita tidak bisa bertemu lagi.”

“... Kau tau?” Tanyaku pada gadis manis itu. Kelinci yang tadi di pangkuhannya tiba-tiba pergi dan saat itu juga dia diam dan hanya menunduk.

“Aku tau dari bu Ira, kau besok resmi keluar dari sekolah kan? Kau mau berobat?” jawaban itu menjadi pembuka tangisan kami. Aku duduk menghadap dengannya. Aku mencoba menenangkannya dan meyakinkannya bahwa kita akan ketemu lagi suatu saat. Aku besok pergi ke jepang untuk terapi penyembuhanku. Entah aku sakit apa, tapi salah seorang temanku pernah bilang tentang “Gangguan mental, Autis, Idiot dan semacam itu”. Aku tidak peduli, mungkin penyakit ini juga yang membuatku berbicara terpatah-patah. Aku menggenggam erat tangan gadis itu, tampak tangannya basah karena saking banyaknya air mata yang menetes. Entah aku akan pulang 2 atau 3 tahun lagi tapi aku berjanjii ...

“Aku berjanji Karin kita akan bertemu, tersenyumlah. Kau mau aku sembuh kan?”
Ujarku cukup lancar dari biasanya, aku mencoba untuk membuat mata indahnya itu menatapku dan tidak menangis.

“ Aku mau! Tapi berjanjilah! Berhati-hatilah di sana. Di sana banyak orang asing yang mungkin bisa menyelakaimu. Dan jangan lupa membenarkan kera bajumu ya Ray!”
Ujarnya padaku, senyumnya mengembang. Ia mengangkat jari kelingkingnya membuka sebuah buku perjanjian denganku ...
“ A... aku berjanji!”
Jawabku, sesaat setelah itu tangan mungilnya mengelus rambutku. Membuka kacamataku dan mengusap butiran air mata yang tersisa ketika kami menangis bersama tadi. Dan hari itu, hari terakhirku berjumpa dengan Karin.

**
Delapan tahun berlalu, cukup lama tidak bertemu. Entah seperti apa dia sekarang tapi aku berharap bisa bertemu dengannya. Kabar burung dia sekarang menjabat menjadi seorang dokter di salah satu rumahsakit di Jakarta. Dan sekarang aku berada di rumahsakit itu untuk bertanya “apa kabar?” lagi kepadanya seperti dulu ...

Tab..
                                Tab...
Tab..
.
.

.
Suara langkah kaki perawat rumah sakit yang sedang menangani seorang pasien gadis, tampaknya sakit parah. Tapi aku tak terlalu peduli, yang aku harapkan sekarang adalah bertemu dengannya dan memamerkan kesembuhanku. Aku bukan seorang anak yang idiot lagi sekarang. Karena banyaknya ruangan dan kantor rumah sakit di sini, aku menuju resepsionis untuk menanyakannya.

“Sus, Ibu Karin ada?”
Tanyaku pada wanita paruh baya yang mengenakan seragam pink itu.

“Ibu Karin? Itu tadi yang barusan bersama dengan perawat-perawat yang lewat di koridor ini”
Jawabannya membuatku khawatir, apakah dia pasien itu? Tapi dia sakit apa? Semua pertanyaan itu harus diselesaikan hari ini.
“Maaf sus, apakah pasien yang tadi itu sakit parah?”
Tanyaku khawatir, aku harap dia hanya sakit ringan. “HIV pak” jawab suster resepsionis itu, dan saat itu juga aku mengejar kerumunan perawat yang berjalan cepat menuju UGD itu. Tangisanku langsung pecah saat itu juga. 8 tahun tidak bertemu, aku tidak menyangkah dia melanggar janji yang dulu kita sepakati. Seperti orang gila, aku langsung menghentikan langkah perawat-perawat itu, membuka selimut yang menutupi wajah pasien itu. Yang aku lihat bukan Karin yang dulu, entah wajahnya sudah berubah, aku tidak peduli. Yang harus aku lakukan adalah membangunkannya dan bersenang-senang seperti dulu.

“Karin bangun! Apa kau lupa dengan janjimu !” Teriakku, suaraku tampaknya sangat keras. Terbukti seluruh penjuru rumah sakit memandang kearahku. Tapi itu bukan masalah besar.

“Maaf pak!” Ujar seorang dokter menenangkanku dan berusaha memisahkanku dengan Karin. Aku tidak menyerah, aku tetap memegang tangannya erat.

“Tolong Dok, kami baru saja bertemu! Aku minta waktu sedikit! SEDIKIT SAJA!” Teriakku membentak dokter itu. Air mataku pecah dengan derasnya. (....) Rupanya dokter itu memahami, terbukti suasana sempat sunyi sekitar 5 atau 6 menit. Tapi setelah itu...
.
.



“Maaf pak Ray, saya harus menangani pasien ini! Kau harus bersabar ! 8 tahun tidak bertemu kau belum dewasa juga yah Ray!” Ujar dokter itu. Kalimatnya membuatku tediam dan berfikir. Apakah dia ..
“Kenapa Ray? Kau tidak mengenaliku? Ini aku ....
.

"KARIN"



THE END


Copyright 2012

0 komentar:

Posting Komentar