Title : An immature
Author :Abimanyu Surya Nagara | Radenabim
Genre : Romance, Slice of life
Cast :
- Nakajima Yuto as Ray
- Suzuki Airi as Karin
LENGTH type : Oneshoot
Kedewasaan
adalah kematangan yang dialami seseorang yang membuatnya tenang dalam
mengambil keputusan ataupun mengatasi problema hidup. Dalam kedewasaan,
terdapat perasaan yang memicu dan sangat berperan namun sulit untuk
dilakukan. Itulah yang disebut sebagai kesabaran
Aku tidak
pernah tau bagaimana cara orang bersabar. Yang aku ingat, guruku selalu
berkata bahwa sabar itu penting. Dan sabar membuat wajah menjadi
berseri sehingga disenangi banyak teman. Hari itu aku menghiraukan semua
perkataan guruku. Kesabaran bukan untuk anak ingusan sepertiku. Aku
sudah tersenyum? Tapi mereka tetap tidak mau berteman denganku. Aku
tidak akan memaksa, itu memang kesalahanku. Aku tidak pantas berteman
dengan mereka. Itu pilihan mereka.
Ibuku juga meninggalkanku. Kata
kakak, ibu belanja ke pasar dan nanti akan memasakkan makanan enak
buatku. Namun, sampai hari ini terhitung 6 bulan dia tidak kembali.
Kata
orang di luar sana, ibuku tidak suka denganku, kakak dan ayah. Sehingga
dia meninggalkan kami, dan memilih ke tempat yang dia bisa tenang dari
usikan-usikan bocah sepertiku.
Aku sempat menyesal. Aku tidak
melarangnya pergi atau sekedar permintaan untuk ikut bersamanya. Tapi
biarlah, cukup menjadi dewasa lalu aku tidak akan mengulanginya lagi,
tidak akan kehilangan lagi.
**
“Hai Ray!” Suara
sapaan itu mengalihkan pandanganku yang tadinya terfokus di novel yang
aku baca sejak 2 jam yang lalu. Ya, pelajaran kosong adalah kesempatan
terbaik untuk membaca novel. Walaupun Cuma sejam, tapi itu cukup untuk
mengkhatamkan satu bab. Beruntung, suara semenit yang lalu itu tidak
menggangguku, karena memang aku belum mencapai bagian klimaks novel ini.
Suara itu tak asing.
“Apa Rin? Apa kabar?” Jawabku dengan
sepenuh tenaga dan perasaan. Namanya Karin, dia yang biasa menemaniku
di kelas, entah dalam pelajaran atau sekedar membaca novel. Gadis itulah
yang rutin bersamaku. Entah, tapi itu yang kubutuhkan.
“Baik Ray! Kau baik juga kan?”
Ujarnya dengan mengumbar senyuman tipis padaku. “Ya.” Jawabku pendek mengiyakannya. Anggukan memantapkan jawabanku barusan.
“Oh
yah kau sedang membaca apa?” Tanyanya sesaat setelah dia mengambil
kursi miliknya dan duduk di depan mejaku sembari memperhatikan novel
ukuran kecil yang sedang aku pegang.
“Ini? Ini novel.” Jawabku singkat, sesekali aku membenarkan kacamataku yang sering berubah posisi itu.
“Yah tau Ray. Tapi, novel apa?” Tanyanya lagi, karena merasa jawabanku tidak menyelesaikan pertanyaannya.
“Oh ini novel tentang ibu” Ujarku menjawabnya dengan mantap.
“...”
Suasanya tiba-tiba hening dan aku tidak mendengar pertanyaan yang
terlontar lagi dari bibir gadis manis itu. Karin memang anak yang tidak
banyak bicara, pribadinya juga baik. Dia juga anak seorang yang
berkecukupan. Tapi diamnya kali ini berbeda. Entah apa yang aku fikirkan
tapi mimik wajahnya menandakan lain.
**
Teng....
Teng...
Teng...
.
.
.
Suara
bel tiga kali itu menandakan bahwa pelajaran untuk hari ini telah
selesai. Aku ingin bergegas pulang dan melanjutkan membaca novel yang
tadi masih terhenti di tengah. Aku berlari cepat ke arah pintu keluar.
Dan ...
Brakh.
Tabrakan yang cukup keras
menghantam pundakku, terbukti rasa nyeri keluar sesaat setelah tabrakan
itu. Tampaknya aku telah melukai gadis yang kusukai itu. Entah apa yang
dia lakukan berlari-lari seperti itu.
“Eh Karin? Apa kabar? A...
apa ya yang kau lakukan?” Ujarku bertanya kepadanya. Mengapa dia tampak
sangat terburu-buru seperti itu. Tidak biasanya dia berlari-lari seperti
itu. Dia termasuk orang yang tenang dan tidak gegabah. Jadi peristiwa
ini termasuk jarang dalam keseharian kami.
“Kabarku baik
Ray, kalau kau? Ayo kita pergi ke suatu tempat!” Ujarnya tanpa jeda
sedikitpun, tanpa jawaban dariku dia langsung menggandengku keluar dari
sekolahan ini menuju ke suatu tempat. Dia berjalan dengan cepat dan
semakin lama semakin cepat. Dan saat ini dia telah berlari. Aku tidak
pernah melihatnya seperti ini, tangan kami menyimpul kuat. Dia
menggenggam tanganku rapat-rapat seolah takut aku melepaskannya.
“Kita kemana !?”
“....”
Pertanyaanku tidak terjawab olehnya sepatah katapun. Dia tetap berlari
dan tak melambat sedikitpun. Semakin lama aku semakin lelah, dan saat
ini Karin terlihat lelah. Wajahnya pucat, sejak sejam yang lalu kami
terus berlari. Kecepatannya mulai melambat dan ...
“Brukh!” Karin terjatuh karena lelahnya, entah apa yang dia fikirkan hingga dia mengorbankan dirinya seperti ini.
“Ray,
kita sampai!” Ujarnya kepadaku, senyumnya mengembang. Saking senangnya
hingga dia bangkit dan memelukku. Pelukan yang hangat.
“Dimana ini karin?”
Ujarku bertanya-tanya, tampak hanya ada padang rumput membentang di penjuru sudut.
“Coba kau lebih ke utara Ray!”
Ujarnya,
senyumnya tak lepas sedikitpun dari wajah cantiknya. Sembari jemari
mungilnya itu menunjuk arah yang ia maksud. Aku pun menurutinya,
sesekali pandanganku menyebar ke penjuru padang rumput ini. Dan yang aku
temukan ...
“Kelinci? Wah banyak sekali!” Ujarku kaget
melihat ratusan kelinci di hadapanku. Dan tampaknya mereka hidup tak
bertuan. Tempat ini memang jauh dari rumah penduduk, tapi aku tidak
menyangkah di tempat seperti ini ada kelinci.
“Iya mereka lucu kan? Aku melepasnya 2 ekor lalu mereka bertambah dan jadi sebanyak ini. Bagaimana, Kau suka?”
Ujarnya
menjelaskan. Ia berjalan mendekat ke kekerumunan kelinci itu dan
mengambil seekor kelinci lalu mengelusnya. Sesaat setelah itu, tangan
kuning langsatnya meraih tasnya dan mengeluarkan beberapa buah wortel,
dan menyodorkannya ke kelinci yang berada di pelukannya itu. Tampaknya
kelinci itu tidak asing dengan Karin. Mereka tidak takut, sedangkan aku
mencoba mengambil seekor saja sangat sulit.
“Hahahaha, berusahalah untuk mendapatkan satu Ray! Yang ini namanya sama sepertimu, Ray”
Ujarnya
mengejekku yang sedari tadi gagal mendapatkan seekor kelincipun. Merasa
kalah, aku memutuskan untuk mendekati Karin. Ada yang ingin aku katakan
padanya, mungkin sekarang waktu yang tepat.
“Ka.. Karin!”
Ujarku membuka percakapan
“Iya,
apa kau dapat kelincinya?” Jawabannya, tampaknya dia sangat senang.
Tapi aku harus mengatakannya sekarang. Aku tidak mau menundanya lagi.
“Karin, aku suka ka..kaa... kamu! Te..terimakasih” Ujarku, aku tidak ingin berlama-lama menahannya.
“Aku juga! Aku juga Ray! Tapi.... tapi besok kita tidak bisa bertemu lagi.”
“...
Kau tau?” Tanyaku pada gadis manis itu. Kelinci yang tadi di
pangkuhannya tiba-tiba pergi dan saat itu juga dia diam dan hanya
menunduk.
“Aku tau dari bu Ira, kau besok resmi keluar
dari sekolah kan? Kau mau berobat?” jawaban itu menjadi pembuka tangisan
kami. Aku duduk menghadap dengannya. Aku mencoba menenangkannya dan
meyakinkannya bahwa kita akan ketemu lagi suatu saat. Aku besok pergi ke
jepang untuk terapi penyembuhanku. Entah aku sakit apa, tapi salah
seorang temanku pernah bilang tentang “Gangguan mental, Autis, Idiot dan
semacam itu”. Aku tidak peduli, mungkin penyakit ini juga yang
membuatku berbicara terpatah-patah. Aku menggenggam erat tangan gadis
itu, tampak tangannya basah karena saking banyaknya air mata yang
menetes. Entah aku akan pulang 2 atau 3 tahun lagi tapi aku berjanjii
...
“Aku berjanji Karin kita akan bertemu, tersenyumlah. Kau mau aku sembuh kan?”
Ujarku cukup lancar dari biasanya, aku mencoba untuk membuat mata indahnya itu menatapku dan tidak menangis.
“
Aku mau! Tapi berjanjilah! Berhati-hatilah di sana. Di sana banyak
orang asing yang mungkin bisa menyelakaimu. Dan jangan lupa membenarkan
kera bajumu ya Ray!”
Ujarnya padaku, senyumnya mengembang. Ia mengangkat jari kelingkingnya membuka sebuah buku perjanjian denganku ...
“ A... aku berjanji!”
Jawabku,
sesaat setelah itu tangan mungilnya mengelus rambutku. Membuka
kacamataku dan mengusap butiran air mata yang tersisa ketika kami
menangis bersama tadi. Dan hari itu, hari terakhirku berjumpa dengan
Karin.
**
Delapan tahun berlalu, cukup lama tidak
bertemu. Entah seperti apa dia sekarang tapi aku berharap bisa bertemu
dengannya. Kabar burung dia sekarang menjabat menjadi seorang dokter di
salah satu rumahsakit di Jakarta. Dan sekarang aku berada di rumahsakit
itu untuk bertanya “apa kabar?” lagi kepadanya seperti dulu ...
Tab..
Tab...
Tab..
.
.
.
Suara
langkah kaki perawat rumah sakit yang sedang menangani seorang pasien
gadis, tampaknya sakit parah. Tapi aku tak terlalu peduli, yang aku
harapkan sekarang adalah bertemu dengannya dan memamerkan kesembuhanku.
Aku bukan seorang anak yang idiot lagi sekarang. Karena banyaknya
ruangan dan kantor rumah sakit di sini, aku menuju resepsionis untuk
menanyakannya.
“Sus, Ibu Karin ada?”
Tanyaku pada wanita paruh baya yang mengenakan seragam pink itu.
“Ibu Karin? Itu tadi yang barusan bersama dengan perawat-perawat yang lewat di koridor ini”
Jawabannya membuatku khawatir, apakah dia pasien itu? Tapi dia sakit apa? Semua pertanyaan itu harus diselesaikan hari ini.
“Maaf sus, apakah pasien yang tadi itu sakit parah?”
Tanyaku
khawatir, aku harap dia hanya sakit ringan. “HIV pak” jawab suster
resepsionis itu, dan saat itu juga aku mengejar kerumunan perawat yang
berjalan cepat menuju UGD itu. Tangisanku langsung pecah saat itu juga. 8
tahun tidak bertemu, aku tidak menyangkah dia melanggar janji yang dulu
kita sepakati. Seperti orang gila, aku langsung menghentikan langkah
perawat-perawat itu, membuka selimut yang menutupi wajah pasien itu.
Yang aku lihat bukan Karin yang dulu, entah wajahnya sudah berubah, aku
tidak peduli. Yang harus aku lakukan adalah membangunkannya dan
bersenang-senang seperti dulu.
“Karin bangun! Apa kau lupa
dengan janjimu !” Teriakku, suaraku tampaknya sangat keras. Terbukti
seluruh penjuru rumah sakit memandang kearahku. Tapi itu bukan masalah
besar.
“Maaf pak!” Ujar seorang dokter menenangkanku dan
berusaha memisahkanku dengan Karin. Aku tidak menyerah, aku tetap
memegang tangannya erat.
“Tolong Dok, kami baru saja
bertemu! Aku minta waktu sedikit! SEDIKIT SAJA!” Teriakku membentak
dokter itu. Air mataku pecah dengan derasnya. (....) Rupanya dokter itu
memahami, terbukti suasana sempat sunyi sekitar 5 atau 6 menit. Tapi
setelah itu...
.
.
“Maaf pak
Ray, saya harus menangani pasien ini! Kau harus bersabar ! 8 tahun tidak
bertemu kau belum dewasa juga yah Ray!” Ujar dokter itu. Kalimatnya
membuatku tediam dan berfikir. Apakah dia ..
“Kenapa Ray? Kau tidak mengenaliku? Ini aku ....
.
"KARIN"
THE END
Copyright 2012