Minggu, 30 Maret 2014

// // Leave a Comment

Baru! Buatan Anak Bangsa | Short Film | There's Place For Us

Tontonan yang baik merupakan satu faktor positif sebagai input untuk membentuk karakter anak didik yang berkualitas. Berikut ini merupakan salah satu tontonan yang baik buatan anak didik indonesia yang berhasil meraih salah satu nominasi di suatu ajang perlombaan short film tingkat Nasional.
Dengan judul "There's Place fof Us" diperankan oleh sekumpulan anak didik berlatar belakang teatrikal yang apik.

Sutradara                       : Dila Fadilah
Kameramen dan Editor : Abimanyu Surya Nagara


   Diperankan oleh          : Redyan Widya Kusuma Baskoro
                                         Alifya Yurizcha
                                         Ardian Afifudin

Saksikan secara lengkap di sini


Read More
// // Leave a Comment

Baru! Buatan Anak Bangsa | Short Film | The Singer

Tontonan yang baik merupakan satu faktor positif sebagai input untuk membentuk karakter anak didik yang berkualitas. Berikut ini merupakan salah satu tontonan yang baik buatan anak didik indonesia yang berhasil meraih salah satu nominasi di suatu ajang perlombaan short film tingkat Provinsi.
Dengan judul "The Singer" diperankan oleh sekumpulan anak didik berlatar belakang teatrikal yang apik.

Sutradara, Kameramen dan Editor : Abimanyu Surya Nagara


   Diperankan oleh                        :Radhiallah Mertiarti
                                                      Alifya Yurizcha
                                                      Ardian Afifudin
                                                      Rico Arisandy
                                                      Ega Khansa Alifa

Saksikan Traillernya di sini
Saksikan secara lengkap di sini









Read More
// // Leave a Comment

Abimanyu Surya Nagara


Abimanyu Surya Nagara (lahir di Sidoarjo, Indonesia, 11 Januari 1996; umur 18 tahun) Tinggi 163 cm, Berat Badan 55 kg, tercatat sebagai siswa di salah satu madrasah aliyah di Sidoarjo. Motto, "Musuh terberat di dunia ini adalah dirimu sendiri". Aktif tegabung dalam beberapa organisasi seperti Karang Taruna, OSIS, PMR, KIR, dan Julnalistik. Memiliki hobi menulis, membaca, menggambar, dan membuat film atau karya seni lainnya. Beberapa kali mendapat nominasi dalam ajang-ajang tingkat daerah hingga nasional. Kota yang pernah di kunjungi sebagai tempat produksi karyanya atau sekedar tour, antara lain Sidoarjo, Surabaya, Malang, dan Bali. Berikut beberapa karya hasl tangan dari seorang Abimanyu :

Drawing

(Gambar 1.1 Be Yourself)

                                                    (Gambar 1.2 Gotong-royong)
                                                   ( Gambar 1.3 Near-Mellow)

                                                          ( Gambar 1.3 Rose)


Short Film


Documentary Film



Read More

Sabtu, 19 Oktober 2013

// // Leave a Comment

TORPOR

Title            : TORPOR
Author       :Abimanyu Surya Nagara | Radenabim
Language   : Indonesian
Part            : 1
Genre         : Deathfic, Mytery
Cast            :  No Cast

Note           : Mohon komentarnya yah.




Read More
// // Leave a Comment

An Immature


Title     : An immature
Author :Abimanyu Surya Nagara | Radenabim
Genre  : Romance, Slice of life
Cast      :
  • Nakajima Yuto as Ray
  • Suzuki Airi as Karin
LENGTH type : Oneshoot




Kedewasaan adalah kematangan yang dialami seseorang yang membuatnya tenang dalam mengambil keputusan ataupun mengatasi problema hidup. Dalam kedewasaan, terdapat perasaan yang memicu dan sangat berperan namun sulit untuk dilakukan. Itulah yang disebut sebagai kesabaran

Aku tidak pernah tau bagaimana cara orang bersabar. Yang aku ingat, guruku selalu berkata bahwa sabar itu penting. Dan sabar membuat wajah menjadi berseri sehingga disenangi banyak teman. Hari itu aku menghiraukan semua perkataan guruku. Kesabaran bukan untuk anak ingusan sepertiku. Aku sudah tersenyum? Tapi mereka tetap tidak mau berteman denganku. Aku tidak akan memaksa, itu memang kesalahanku. Aku tidak pantas berteman dengan mereka. Itu pilihan mereka.
Ibuku juga meninggalkanku. Kata kakak, ibu belanja ke pasar dan nanti akan memasakkan makanan enak buatku. Namun, sampai hari ini terhitung 6 bulan dia tidak kembali.
Kata orang di luar sana, ibuku tidak suka denganku, kakak dan ayah. Sehingga dia meninggalkan kami, dan memilih ke tempat yang dia bisa tenang dari usikan-usikan bocah sepertiku.
Aku sempat menyesal. Aku tidak melarangnya pergi atau sekedar permintaan untuk ikut bersamanya. Tapi biarlah, cukup menjadi dewasa lalu aku tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan kehilangan lagi.
**

“Hai Ray!” Suara sapaan itu mengalihkan pandanganku yang tadinya terfokus di novel yang aku baca sejak 2 jam yang lalu. Ya, pelajaran kosong adalah kesempatan terbaik untuk membaca novel. Walaupun Cuma sejam, tapi itu cukup untuk mengkhatamkan satu bab. Beruntung, suara semenit yang lalu itu tidak menggangguku, karena memang aku belum mencapai bagian klimaks novel ini. Suara itu tak asing.

“Apa Rin? Apa kabar?” Jawabku dengan sepenuh tenaga dan perasaan. Namanya Karin, dia yang biasa menemaniku di kelas, entah dalam pelajaran atau sekedar membaca novel. Gadis itulah yang rutin bersamaku. Entah, tapi itu yang kubutuhkan.

“Baik Ray! Kau baik juga kan?”
Ujarnya dengan mengumbar senyuman tipis padaku. “Ya.” Jawabku pendek mengiyakannya. Anggukan memantapkan jawabanku barusan.

“Oh yah kau sedang membaca apa?” Tanyanya sesaat setelah dia mengambil kursi miliknya dan duduk di depan mejaku sembari memperhatikan novel ukuran kecil yang sedang aku pegang.

“Ini? Ini novel.” Jawabku singkat, sesekali aku membenarkan kacamataku yang sering berubah posisi itu.

“Yah tau Ray. Tapi, novel apa?” Tanyanya lagi, karena merasa jawabanku tidak menyelesaikan pertanyaannya.
“Oh ini novel tentang ibu” Ujarku menjawabnya dengan mantap.
“...” Suasanya tiba-tiba hening dan aku tidak mendengar pertanyaan yang terlontar lagi dari bibir gadis manis itu. Karin memang anak yang tidak banyak bicara, pribadinya juga baik. Dia juga anak seorang yang berkecukupan. Tapi diamnya kali ini berbeda. Entah apa yang aku fikirkan tapi mimik wajahnya menandakan lain.

**
Teng....

Teng...

                Teng...
.
.

.

Suara bel tiga kali itu menandakan bahwa pelajaran untuk hari ini telah selesai. Aku ingin bergegas pulang dan melanjutkan membaca novel yang tadi masih terhenti di tengah. Aku berlari cepat ke arah pintu keluar. Dan ...
Brakh.
Tabrakan yang cukup keras menghantam pundakku, terbukti rasa nyeri keluar sesaat setelah tabrakan itu. Tampaknya aku telah melukai gadis yang kusukai itu. Entah apa yang dia lakukan berlari-lari seperti itu.
“Eh Karin? Apa kabar? A... apa ya yang kau lakukan?” Ujarku bertanya kepadanya. Mengapa dia tampak sangat terburu-buru seperti itu. Tidak biasanya dia berlari-lari seperti itu. Dia termasuk orang yang tenang dan tidak gegabah. Jadi peristiwa ini termasuk jarang dalam keseharian kami.

“Kabarku baik Ray, kalau kau? Ayo kita pergi ke suatu tempat!” Ujarnya tanpa jeda sedikitpun, tanpa jawaban dariku dia langsung menggandengku keluar dari sekolahan ini menuju ke suatu tempat. Dia berjalan dengan cepat dan semakin lama semakin cepat. Dan saat ini dia telah berlari. Aku tidak pernah melihatnya seperti ini, tangan kami menyimpul kuat. Dia menggenggam tanganku rapat-rapat seolah takut aku melepaskannya.

“Kita kemana !?”
“....” Pertanyaanku tidak terjawab olehnya sepatah katapun. Dia tetap berlari dan tak melambat sedikitpun. Semakin lama aku semakin lelah, dan saat ini Karin terlihat lelah. Wajahnya pucat, sejak sejam yang lalu kami terus berlari. Kecepatannya mulai melambat dan ...

“Brukh!” Karin terjatuh karena lelahnya, entah apa yang dia fikirkan hingga dia mengorbankan dirinya seperti ini.

“Ray, kita sampai!” Ujarnya kepadaku, senyumnya mengembang. Saking senangnya hingga dia bangkit dan memelukku. Pelukan yang hangat.

“Dimana ini karin?”
Ujarku bertanya-tanya, tampak hanya ada padang rumput membentang di penjuru sudut.

“Coba kau lebih ke utara Ray!”
Ujarnya, senyumnya tak lepas sedikitpun dari wajah cantiknya. Sembari jemari mungilnya itu menunjuk arah yang ia maksud. Aku pun menurutinya, sesekali pandanganku menyebar ke penjuru padang rumput ini. Dan yang aku temukan ...

“Kelinci? Wah banyak sekali!” Ujarku kaget melihat ratusan kelinci di hadapanku. Dan tampaknya mereka hidup tak bertuan. Tempat ini memang jauh dari rumah penduduk, tapi aku tidak menyangkah di tempat seperti ini ada kelinci.

“Iya mereka lucu kan? Aku melepasnya 2 ekor lalu mereka bertambah dan jadi sebanyak ini. Bagaimana, Kau suka?”
Ujarnya menjelaskan. Ia berjalan mendekat ke kekerumunan kelinci itu dan mengambil seekor kelinci lalu mengelusnya. Sesaat setelah itu, tangan kuning langsatnya meraih tasnya dan mengeluarkan beberapa buah wortel, dan menyodorkannya ke kelinci yang berada di pelukannya itu. Tampaknya kelinci itu tidak asing dengan Karin. Mereka tidak takut, sedangkan aku mencoba mengambil seekor saja sangat sulit.

“Hahahaha, berusahalah untuk mendapatkan satu Ray! Yang ini namanya sama sepertimu, Ray”
Ujarnya mengejekku yang sedari tadi gagal mendapatkan seekor kelincipun. Merasa kalah, aku memutuskan untuk mendekati Karin. Ada yang ingin aku katakan padanya, mungkin sekarang waktu yang tepat.
“Ka.. Karin!”
Ujarku membuka percakapan

“Iya, apa kau dapat kelincinya?” Jawabannya, tampaknya dia sangat senang. Tapi aku harus mengatakannya sekarang. Aku tidak mau menundanya lagi.

“Karin, aku suka ka..kaa... kamu! Te..terimakasih” Ujarku, aku tidak ingin berlama-lama menahannya.

“Aku juga! Aku juga Ray! Tapi.... tapi besok kita tidak bisa bertemu lagi.”

“... Kau tau?” Tanyaku pada gadis manis itu. Kelinci yang tadi di pangkuhannya tiba-tiba pergi dan saat itu juga dia diam dan hanya menunduk.

“Aku tau dari bu Ira, kau besok resmi keluar dari sekolah kan? Kau mau berobat?” jawaban itu menjadi pembuka tangisan kami. Aku duduk menghadap dengannya. Aku mencoba menenangkannya dan meyakinkannya bahwa kita akan ketemu lagi suatu saat. Aku besok pergi ke jepang untuk terapi penyembuhanku. Entah aku sakit apa, tapi salah seorang temanku pernah bilang tentang “Gangguan mental, Autis, Idiot dan semacam itu”. Aku tidak peduli, mungkin penyakit ini juga yang membuatku berbicara terpatah-patah. Aku menggenggam erat tangan gadis itu, tampak tangannya basah karena saking banyaknya air mata yang menetes. Entah aku akan pulang 2 atau 3 tahun lagi tapi aku berjanjii ...

“Aku berjanji Karin kita akan bertemu, tersenyumlah. Kau mau aku sembuh kan?”
Ujarku cukup lancar dari biasanya, aku mencoba untuk membuat mata indahnya itu menatapku dan tidak menangis.

“ Aku mau! Tapi berjanjilah! Berhati-hatilah di sana. Di sana banyak orang asing yang mungkin bisa menyelakaimu. Dan jangan lupa membenarkan kera bajumu ya Ray!”
Ujarnya padaku, senyumnya mengembang. Ia mengangkat jari kelingkingnya membuka sebuah buku perjanjian denganku ...
“ A... aku berjanji!”
Jawabku, sesaat setelah itu tangan mungilnya mengelus rambutku. Membuka kacamataku dan mengusap butiran air mata yang tersisa ketika kami menangis bersama tadi. Dan hari itu, hari terakhirku berjumpa dengan Karin.

**
Delapan tahun berlalu, cukup lama tidak bertemu. Entah seperti apa dia sekarang tapi aku berharap bisa bertemu dengannya. Kabar burung dia sekarang menjabat menjadi seorang dokter di salah satu rumahsakit di Jakarta. Dan sekarang aku berada di rumahsakit itu untuk bertanya “apa kabar?” lagi kepadanya seperti dulu ...

Tab..
                                Tab...
Tab..
.
.

.
Suara langkah kaki perawat rumah sakit yang sedang menangani seorang pasien gadis, tampaknya sakit parah. Tapi aku tak terlalu peduli, yang aku harapkan sekarang adalah bertemu dengannya dan memamerkan kesembuhanku. Aku bukan seorang anak yang idiot lagi sekarang. Karena banyaknya ruangan dan kantor rumah sakit di sini, aku menuju resepsionis untuk menanyakannya.

“Sus, Ibu Karin ada?”
Tanyaku pada wanita paruh baya yang mengenakan seragam pink itu.

“Ibu Karin? Itu tadi yang barusan bersama dengan perawat-perawat yang lewat di koridor ini”
Jawabannya membuatku khawatir, apakah dia pasien itu? Tapi dia sakit apa? Semua pertanyaan itu harus diselesaikan hari ini.
“Maaf sus, apakah pasien yang tadi itu sakit parah?”
Tanyaku khawatir, aku harap dia hanya sakit ringan. “HIV pak” jawab suster resepsionis itu, dan saat itu juga aku mengejar kerumunan perawat yang berjalan cepat menuju UGD itu. Tangisanku langsung pecah saat itu juga. 8 tahun tidak bertemu, aku tidak menyangkah dia melanggar janji yang dulu kita sepakati. Seperti orang gila, aku langsung menghentikan langkah perawat-perawat itu, membuka selimut yang menutupi wajah pasien itu. Yang aku lihat bukan Karin yang dulu, entah wajahnya sudah berubah, aku tidak peduli. Yang harus aku lakukan adalah membangunkannya dan bersenang-senang seperti dulu.

“Karin bangun! Apa kau lupa dengan janjimu !” Teriakku, suaraku tampaknya sangat keras. Terbukti seluruh penjuru rumah sakit memandang kearahku. Tapi itu bukan masalah besar.

“Maaf pak!” Ujar seorang dokter menenangkanku dan berusaha memisahkanku dengan Karin. Aku tidak menyerah, aku tetap memegang tangannya erat.

“Tolong Dok, kami baru saja bertemu! Aku minta waktu sedikit! SEDIKIT SAJA!” Teriakku membentak dokter itu. Air mataku pecah dengan derasnya. (....) Rupanya dokter itu memahami, terbukti suasana sempat sunyi sekitar 5 atau 6 menit. Tapi setelah itu...
.
.



“Maaf pak Ray, saya harus menangani pasien ini! Kau harus bersabar ! 8 tahun tidak bertemu kau belum dewasa juga yah Ray!” Ujar dokter itu. Kalimatnya membuatku tediam dan berfikir. Apakah dia ..
“Kenapa Ray? Kau tidak mengenaliku? Ini aku ....
.

"KARIN"



THE END


Copyright 2012
Read More
// // Leave a Comment

DIA | Photogenic

      
Title         : DIA
Sub Title : Photogenic
Author     : Abimanyu Surya Nagara
Genre      : Romance
Cast         : No cast


                Sinar matahari hari ini sangat terik membakar kulit terasa sampai ubun-ubun, seolah ingin membakar dunia yang penuh kekotoran tangan manusia. Angin semilir berhasil membuatku terkantuk, sesekali bertiup sangat kencang hingga menggerakkan beberapa dahan pohon palam yang berdiri berjajar di pinggir trotoar yang sedang dalam masa meranggasnya. Sebuah tempat kuliner yang cukup luas dengan tempat duduk di tepi jalan dekat sungai memang menjadi favoritku untuk saat ini. Di siang hari tempat ini sedikit sepi, sehingga dapat dengan mudah aku menemukan ketenangan di sini. Mencari makanan dan minuman pun tak sulit, semua hampir tersedia di sini. Beberapa pengunjung juga kerap terlihat berlalu di depanku, dimulai dari anak-anak, remaja seusiaku bahkan orang yang sudah lanjut usia. Bincang-bincang para pengunjung kerap terbesit di telinga sedikit mengusikku yang pada dasarnya sangat menuhankan ketenangan. Bola mataku terus saja menjamah tulisan-tulisan kecil 30 centimeter di depan mataku itu. Dengan khusyuk mataku bergerak lincah mencernah kata demi kata. Novel, ya aku sedang membaca sebuah novel. Salah satu novel Best Seller di negeri ini hasil tangan A. Fuadi. Entahlah tapi karyanya selalu membuat hati terus dipupuk, penuh inspirasi dan motivasi. Seolah aku langsung menjadi tokoh utama yang penuh ketangguhan itu. Sayangnya itu hanyalah sebuah bacaan yang tak ada artinya lagi untukku, selain untuk menghiburku di waktu luang saja. Ya, setidaknya aku masih ada harapan selama aku masih menghirup butiran-butiran nafas yang masih dianugerahkan untukku hari ini, detik ini. Itulah salah satu omong besar novel ini yang masih aku percaya dan terpatri dalam ingatan bawah sadarku.

            Waktu terus berjalan tanpa diminta, suasana menjadi sedikit redup. Awan mulai menggumpal padat putih susu menutupi terik matahari. Angin mulai terasa dingin sejuk. Bau tanah membuat mataku terkantuk keenakan. Dua kali sudah aku menguap, merasa sudah digoda suasana, aku putuskan untuk mengambil kameraku yang sedari tadi mengalung di leher tanpa terhiraukan olehku. Kamera DSLR hitam pekat, dengan lensa normal. Istimewahnya bukan pada kecanggihan benda ini, tapi apa yang bisa dilakukan benda ini untukku. Kamera ini adalah teman satu-satunya bagiku. Sebulan lalu aku dibelikan kamera ini oleh ibuku, walau dengan sedikit memaksa. Keseharianku yang hanya ditemani tumpukan buku-buku English lesson, English grammar, Oxford Dictionary of Current Idiomatic English dan beberapa novel terjemahan maupun novel dalam negeri membuat beliau iba dan akhirnya mempertimbangkan permintaanku.

          Ya keseharianku memang selalu seperti itu. Aku tidak bersekolah layaknya anak lain, harusnya sekarang aku sudah duduk di kelas tiga SMA mempersiapkan untuk menghadapi UNAS. Tapi alam berkata lain. Dua bulan yang lalu, aku menerima surat kesehatan hasil uji lab dari rumah sakit daerah setempat, tulisan yang paling aku ingat hanya namaku sendiri– Lunar Aries, selain itu aku tak mau mengingatnya lagi. Ya singkat cerita, aku terjangkit chronic kidney disease, CKD atau biasa disebut gagal ginjal kronis. Stadium akhir. Seringkali, penyakit ginjal kronis didiagnosis sebagai hasil dari skrining dari orang yang dikenal berada di risiko masalah ginjal, seperti tekanan darah tinggi atau diabetes dan mereka yang memiliki hubungan darah dengan penyakit ginjal kronis. Hipotesisku saat ini, mungkin penyakit ini diturunkan dari ayahku, yang meninggal sewaktu aku masih duduk di bangku playgroup yang disebabkan oleh penyakit yang sama. Yang harus aku lakukan pasca menerima surat kesehatan itu hanyalah istirahat di rumah.Tiga minggu sekali aku harus ke rumah sakit untuk cuci darah. Setelah itu kembali lagi ke rumah dan istirahat. Pengecualian untuk hari ini. Hari ini aku kabur, mungkin lebih tepatnya pergi sebentar untuk jalan-jalan tanpa pamit. Aku rasa tak ada salahnya mencoba menghibur diri di tengah kepenatan.

           
            Dengan gigih aku raih kameraku, berdiri kemudian berjalan berkeliling. Fotografi menjadi hobiku untuk saat ini. Aku mencoba memotret dengan beberapa teknik, seperti close up, eyes level, normal angle dan lain-lain. Semua terasa menyenangkan. Terkadang aku bermimpi untuk ke eropa hanya sekedar memotret beberapa gaya arsitektur bangunan di sana, berfoto dengan buah karya Auguste Rodin pematung terkenal eropa dengan mahakaryanya yang luar biasa populer Le Penseur dan Le Baiser dua patung hasil pahatannya. Atau mungkin sekedar berkunjung ke Liberty atau ke Suriname untuk berfoto dengan penduduk sekitar sembari mencari tau dialek seperti apa yang digunakan di Suriname. Perihal dalam buku pernah menyebutkan penduduk Suriname berbahasa Javanese atau bahasa Jawa. Apakah dialek mereka sama seperti penduduk jawa umumnya dengan aksen jawa timuran yang medok? Lupakan perihal mimpi usang tadi kembali beralih ke kamera ku yang tak terasa memotret hampir 70-an foto sudah. Dari benda mati hingga penggunjung yang iseng-iseng aku potret.

            Clik
         
          Karena keasikan, tak sengaja jariku menekan tombol kamera. Dalam mode auto, secara tidak sengaja kameraku berhasil mengambil gambar seorang gadis berparas cantik berkulit kuning langsat dengan fokus yang sempurna. “Photogenic” batinku. Tanpa sadar aku memotretnya lagi, lagi dan lagi. Mengenakan Modern Colorful Shirt, dengan rambut lurus terurai dengan anting bulu merak menambah estetik hasil potretanku. “Model dadakan” batinku. Keasikan memotret, saat memfokuskan kamera entah sejak kapan bola matanya mengarah ke arahku. Aku langsung menjingkat, menurunkan kameraku, memalingkan mukaku kearah lain, sembari menghilangkan canggung yang tiba-tiba muncul seketika. Merasa malu karena kepergoki memotret tanpa ijin, aku langsung menghindar dari jangkauan penglihatannya, mencari air mineral untuk menghilangkan rasa haus yang tiba-tiba.

            Penasaran, itulah satu-satunya yang aku rasakan sejak bertemu sosok itu. Sosok photogenic yang berparas cantik. Siapa dia? Itulah pertanyaan satu-satunya dari puluhan pertanyaan yang ingin segera terjawab hari ini juga. Termakan hasutan hati, akhirnya aku kembali ketempat tadi, untuk sekedar melihat apakah dia masih ada. Ditemani tiga temannya, dia duduk di meja nomer 03 sembari mengoperasikan sebuah laptop hitam. Tangan kirinya diangkat separuh badan dengan tetap pada posisi sumbu y, bola matanya melirik ke arah jam tangan merah delima yang bertengger di pergelangan tangannya tersebut.
Sesaat setelahnya, ia beranjak dari tempat duduknya diikuti teman-temannya kemudian berlalu entah kemana.

Itu pertemuan pertamaku dengan DIA, sosok berparas cantik yang aku sangat ingin tahu namanya.

To Be Continued
Read More